Entang menyatakan, persoalan ketahanan pangan di Banten tidak jauh berbeda dengan persoalan yang terjadi di Provinsi Jawa Barat (Jabar). Salah satu indikasinya adalah dikarenakan Provinsi Banten merupakan provinsi hasil pemekaran dari Jabar. Sehingga, Banten memiliki karakteristik permasalahan yang tidak jauh berbeda dengan yang dialami Jabar. “Hanya sekarang, penajaman dan prioritasnya mau kemana? Yang harus dijaga menurut saya adalah alih fungsi lahan dan alih kepemilikan lahan. Keduanya merupakan salah satu persoalan yang mengancam ketahanan pangan di Banten,” ungkap Entang. Entang menjelaskan, alih fungsi lahan merupakan peralihan fungsi bidang garapan pertanian kepada fungsi lain seperti industri maupun fungsi lainnya. Sementara, alih kepemilikan lahan merupakan peralihan kepemilikan lahan milik petani kepada yang bukan petani dan menghilangkan kedaulatan petani pada profesinya.
“Banyak sekarang tanah yang ada di Banten, pemiliknya orang Jakarta. Petani di sini itu hanya buruh, kadang menyewa, kadang garap. Arti kedaulatan petani terhadap sawahnya hilang. Jadi, sekarang jarang kita temukan upacara-upacara setelah panen yang dilakukan petani dengan mempersembahkan hasil panennya,” terang Entang.
Menurut Entang, ketahanan pangan merupakan persoalan wajib yang menjadi tanggung jawab bersama dari setiap unsur. Akan tetapi, persepsi ketahanan pangan yang tumbuh dari masing-masing usnur saat ini belum tersamakan. Baik persepsi dari kalangan pemerintah, legislatif dan komunitas masyarakat seperti komunitas pengusaha, akademisi, nelayan, buruh dan lainnya. Sehingga, undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan akan mudah dimengerti dan diterjemahkan dengan kebijakan dan komitmen pelaksanaan yang efektif. “Terakhir, bagaimana caranya kepedulian pemerintah daerah terhadap pangan bukan hanya berbasis kepada anggaran. Jadi, memang harus ada 3 unsur yakni perencanaan, eksekusi dan penanaman modal. Ini saya katakan penting, karena 2015 nanti pasar ekonomi ASEAN itu sudah dibuka,” tuturnya.
Gubernur Banten Rt Atut Chosiyah yang diwakili Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) Provinsi Banten Enong Suhaeti dalam sambutannya mengatakan, pembangunan ketahanan pangan di Provinsi Banten bertumpu pada tiga sub sistem yaitu sub sistem ketersediaan, subsistem distribusi dan sub sistem konsumsi pangan. Ketersediaan pangan dalam bentuk energi per kapita/hari di Provinsi Banten pada 2011 adalah 2.106,28 kkal dari target 1.987 kkal, sedikit dibawah yang disarankan widya nasional pangan dan gizi (WNPG) pada 2004 yaitu ketersediaan minimal sebesar 2.200 kkal/hari. Sedangkan, ketersediaan pangan protein perkapita/perhari 2011 di Provinsi Banten adalah sebesar 61,03 gram/kapita/hari, jauh melampaui yang disarankan WNPG yakni ketersediaan protein sebesar 57 gram/kapita/hari. “Cadangan pangan Pemprov Banten sampai dengan 2012 mempunyai cadangan pangan dalam bentuk beras sebesar 271,3 ton, yang kita titip simpan di Bulog sebesar 192,3 ton dan di gapoktan pengelola LDPM sebesar 79 ton,” ujar Enong.
Enong mengatakan, dari sub sistem distribusi pangan, kondisi umum sampai dengan 2012, bahwa berdasarkan ketersediaan data dan informasi stabilitasi harga relatif stabil dan pasokan pangan di Provinsi Banten relatif aman. Sedangkan, aksesibilitas pangan masyarakat terdapat banyak faktor yang mempengaruhinya. Terkait hal ini, pemerintah telah menyusun peta ketahanan pangan dan kerentanan pangan (food security and vulnerability atlas/FSVA). “Tingkat keragaman asupan konsumsi pangan masyarakat Provinsi Banten masih kurang dari yang dianjurkan (ideal). Capaian skor pola pangan harapan (pph) di Banten pada 2012 adalah 78,6 meningkat dari 2011 sebesar 78,4 ,” jelasnya. (ibah)
 
0 komentar:
Posting Komentar